ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN YANG MENGALAMI HIV KO-INFEKSI TUBERCULOSIS PARU DENGAN BERSIHAN JALAN NAFAS TIDAK EFEKTIF DI RUANG SAKURA RSD dr. SOEBANDI JEMBER OLEH : ERINA TRIWIYANTI
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir penyakit infeksi yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang dapat menimbulkan infeksi pada sistem organ tubuh. Pasien yang menderita penyakit HIV beresiko tinggi untuk mengalami Tuberkulosis (TB) aktif akibat infeksi pasca primer. Tuberkulosis ko-infeksi HIV menyerang kelompok penduduk usia produktif terutama mereka yang tergolong sosial ekonomi rendah. Tuberkulosis dan HIV/AIDS dapat dikelompokkan sebagai “the silent killer of the century” karena membunuh penderita secara perlahan. Infeksi HIV menekan imunitas seluler yang penting untuk membatasi replikasi dan penyebaran mycobacterium tuberculosis (LeMone, 2015). Bakteri mycobacterium tuberculosis masuk lewat udara dan menginflamasi alveoli (Mulyadi, 2010). Pertahanan primer yang tidak adekuat menyebabkan terjadinya pembentukan tuberkel yang mengakibatkan kerusakan alveolar dan terjadi pembentukan sputum yang mengakibatkan bersihan jalan nafas tidak efektif (Nurarif & Kusuma, 2016).
Berdasarkan
data dari World Health Organization
(WHO) tahun 2017, terdapat 399 kasus HIV ko-infeksi tuberculosis pada setiap
100.000 populasi penduduk di dunia. Indonesia menempati urutan kedua sebagai
penyumbang kasus HIV ko-infeksi tuberculosis. Di Indonesia persentase kasus
koinfeksi
TB-HIV/AIDS tahun 2010-2017 meningkat dari tahun 2009 sebesar 2.393 jiwa menjadi 7.796 jiwa pada tahun 2017 (Kemenkes RI, 2018). Propinsi di Indonesia yang memiliki jumlah kasus HIV ko-infeksi tuberculosis terbanyak adalah Jawa Barat dan kemudian disusul oleh Jawa Timur sebagai penyumbang HIV ko-infeksi tuberculosis terbesar kedua. Dari 38 kabupaten di Jawa Timur,kota Jember menempati urutan kedua sebagai daerah yang memiliki kasus HIV ko-infeksi tuberculosis terbanyak setelah kota Surabaya. Jumlah pasien HIV ko-infeksi tuberculosis di kabupaten Jember setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Kabupaten Jember pada tahun 2015 mencatat jumlah pasien HIV ko-infeksi tuberculosis berjumlah 31 orang, pada tahun 2016 jumlahnya naik menjadi 65 orang dan pada tahun 2017 jumlahnya mencapai 69 orang (Dinkes Jember, 2018).
Seseorang yang mengalami penurunan fungsi imun, termasuk penderita HIV/AIDS akan lebih beresiko mengalami penyakit tuberkulosis (LeMone, 2015). Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular imunity), sehingga bila terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis maka penderita akan menjadi sakit parah dan bahkan bisa mengakibatkan kematian (Najmah, 2016). HIV memperburuk infeksi TB dengan mempercepat replikasi dan penyebaran mycobacterium tuberculosis (Mulyadi, 2010). Port de’ entri mycobacterium tuberculosis kebanyakan terjadi melalui udara (air bone), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi (Wahid & Suprapto, 2013). Bakteri yang terhirup akan dipindah melalui jalan nafas ke alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai untuk memperbanyak diri. Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit menekan bakteri, limfosit spesifik tuberkulosis menghancurkan basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam bronkus sehingga menyebabkan bersihan jalan nafas menjadi tidak efektif (Somantri, 2012).
Perawat
dapat mengajarkan teknik nafas dalam dan batuk efektif pada pasien untuk
mengatasi masalah bersihan jalan nafas tidak efektif. Hal tersebut dapat
membantu membersihkan dan mengeluarkan sekret serta melonggarkan jalan nafas (Sitorus, 2018). Pengeluaran dahak
lebih mudah dan efektif bila diberikan penguapan/nebulizer (Ardila, 2016). Penggunaan obat
anti Tuberkulosis (OAT) lebih sulit pada pasien HIV-positif dikarenakan adanya
interaksi OAT dengan Antiretroviral (ARV) maupun interaksi dengan obat-obatan
lain yang digunakan oleh pasien HIV ko-infeksi tuberculosis, banyaknya obat yang
harus diminum, kepatuhan pasien dalam minum obat dan toksisitas obat (Lisiana, 2011). Perawat mempunyai
peran yang sangat penting dalam merawat klien dengan HIV ko-infeksi
tuberculosis yaitu mengkaji kemampuan klien untuk melanjutkan terapi di rumah
dan mengkaji reaksi obat yang dapat merugikan klien (Lisiana, 2011). Berdasarkan uraian
diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan asuhan keperawatan atau melakukan
penelitian pada klien yang mengalami HIV ko-infeksi tuberculosis dengan
bersihan jalan nafas tidak efektif di ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember
tahun 2019.
Masalah pada kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan klien yang mengalami HIV ko-infeksi tuberculosis paru dengan bersihan jalan nafas tidak efektif di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember.
Bagaimanakah asuhan keperawatan klien yang mengalami HIV ko-infeksi tuberculosis paru dengan bersihan jalan nafas tidak efektif di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember?
Mahasiswa mampu menganalisis asuhan keperawatan pada klien yang mengalami HIV ko-infeksi tuberculosis paru dengan bersihan jalan nafas tidak efektif di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember.
- 1.4.2. Tujuan Khusus
- Melakukan pengkajian keperawatan klien yang mengalami HIV ko-infeksi tuberculosis paru dengan bersihan jalan nafas tidak efektif di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember.
- Menetapkan diagnosa keperawatan klien yang mengalami HIV ko-infeksi tuberculosis paru di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember.
- Menyusun perencanaan keperawatan klien yang mengalami HIV ko-infeksi tuberculosis paru dengan bersihan jalan nafas tidak efektif di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember.
- Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien yang mengalami HIV ko-infeksi tuberculosis paru dengan bersihan jalan nafas tidak efektif di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember.
- Melakukan evaluasi pada klien yang HIV ko-infeksi tuberculosis paru dengan bersihan jalan nafas tidak efektif di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember.
Hasil yang didapat dalam penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi ruang lingkup kesehatan dalam ilmu pengetahuan kesehatan.
- 1.3.2 Manfaat Praktis
- Bagi Perawat
Sebagai acuan dan bahan kajian dalam melakukan pemberian asuhan keperawatan.
- Bagi Rumah Sakit
Bagi rumah sakit mendapatkan solusi atau ide terbaru untuk penerapan intervensi yang mampu mempercepat proses penyembuhan klien HIV ko-infeksi tuberculosis paru.
- Bagi Institusi Pendidikan
Menambah referensi dan dasar pengembangan mata ajar keperawatan medikal bedah mengenai asuhan keperawatan pada klien HIV ko-infeksi tuberculosis dengan bersihan jalan nafas tidak efektif.
- Bagi Klien
Diharapkan melalui
penelitian ini klien mampu menerapkan teknik nafas dalam dan batuk efektif
untuk mengurangi sputum sehingga bersihan jalan nafas menjadi efektif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosisyang dapat menyerang semua bagian tubuh manusia dan yang paling sering terkena adalah organ paru (Wahid & Suprapto, 2013).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Scorviani & Nugroho, 2012).
Tuberkulosis dapat terjadi pada seseorang yang sistem imunitasnya menurun akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular imunity), sehingga bila terjadi infeksi oportunistik seperti Tuberkulosis maka penderita akan menjadi sakit parah (Najmah, 2016). HIV memperburuk infeksi Tuberkulosis dengan mempercepat replikasi dan penyebaran bakteri penyebab Tuberkulosis (Mulyadi, 2010).
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis tipe humanus, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia serta gangguan fisik (Wahid & Suprapto, 2013). Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) dan di udara yang berasal dari penderita tuberkulosis, dan orang yang rentan terkena akan mudah terinfeksi bila menghirupnya. Setelah organisme terinhalasi, dan masuk paru-paru bakteri dapat bertahan hidup dan menyebar ke nodus limfatikus lokal. Penyebaran melalui aliran darah ini dapat menyebabkan tuberkulosis pada organ lain, dimana infeksi laten dapat bertahan sampai bertahun-tahun (Nurarif & Kusuma, 2016).
Gejala HIV ko-infeksi tuberculosis paru menyebar dan mempengaruhi setiap sistem organ, mulai dari abnormalitas respons imun yang sifatnya ringan tanpa disertai tanda dan gejala yang jelas hingga imunosupresi yang bermakna, infeksi yang mengancam jiwa, keganasan, dan efek langsung pada jaringan tubuh (Suddarth, 2013).
Tuberkulosis dapat terjadi pada seseorang yang sistem imunitasnya menurun akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan sebuah virus yang dapat menyerang sistem kekebalan tubuh. Virus HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu seperti sel-sel yang mempunyai antigen CD4 terutama limfosit T4. Virus yang masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Ersha & Ahmad, 2018).
Pada penderita HIV jumlah serta fungsi sel CD4 menurun secara progresif, serta terjadi gangguan pada fungsi makrofag dan monosit. CD4 dan makrofag merupakan komponen yang memiliki peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem pertahanan tubuh terhadap mycobacterium (Mulyadi, 2010). Seseorang yang menghirup basil mycobacterium tuberculosis akan menjadi terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan nafas menuju ke alveoli, dimana pada daerah tersebut bakteri bertumpuk dan berkembang biak. Sistem kekebalan tubuh akan berespons dengan melakukan reaksi inflamasi dan mengeluarkan zat pirogen yang mempengaruhi hipotalamus sehingga mengakibatkan peningkatan suhu tubuh. Neutrofil dan makrofag memfagositosis (menelan) bakteri. Limfosit yang spesifik terhadap tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan alveoli dan terjadilah bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar (Somantri, 2012).
Bakteri
menyebar ke organ lain (paru-paru, saluran pencernaan, tulang) sehingga
terjadilah radang tahunan di bronkus
dan bakteri tersebut menghancurkan jaringan ikat sekitar yang mengakibatkan
bagian tengah menjadi nekrosis dan membentuk jaringan keju. Pertahanan primer
yang tidak adekuat menyebabkan terjadinya pembentukan tuberkel yang
mengakibatkan kerusakan alveolar dan terjadi pembentukan sputum berlebih yang
mengakibatkan bersihan jalan nafas menjadi tidak efektif (Nurarif & Kusuma, 2016).
Alveolus mengalami konsolidasi & eksudasi |
Pola nafas tidak efektif |
Rangsangan batuk |
Sering terjaga saat tidur |
Gangguan pola tidur |
Penumpukan sekret di jalan nafas |
Nafsu makan menurun |
Sekret keluar saat batuk |
Pertahanan primer tidak adekuat |
Pembentukan tuberkel |
Kerusakan membran alveolar |
Bersihan jalan nafas tidakefektif |
Menempel pada paru dan menetap dijaringan paru |
Proses peradangan |
Tumbuh dan berkembang di sitoplasma makrofag |
Human Immunodeficiency Virus |
Sistem imun menurun |
Rentan terinfeksi berbagai macam penyakit |
Mycobacterium tuberkulosis |
Droplet infection |
Masuk melalui jalan nafas |
Pengeluaran zat pirogen |
Mempengaruhi hipotalamus |
Hipertermi |
Menyebar ke organ lain (paru lain, saluran pencernaan, tulang) melalui media |
Radang tahunan di bronkus |
Berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitar |
Bagian tengah nekrosis |
Membentuk jaringan keju |
Pembentukan sputum |
Menurunnya permukaan efek paru |
alveolus |
Batuk Berat |
Intake nutrisi kurang |
Defisit nutrisi |
Batuk Produktif |
Droplet infection |
Gambar 2.1 Patofisiologi HIV ko-infeksi tuberculosis paru berdasarkan Ersha & Ahmad (2018), Mulyadi (2010), Somantri (2012), serta Nurarif & Kusuma (2016).
Pemeriksaan penunjang yang biasanya dilakukan pada pasien HIV ko-infeksi tuberculosis paru, antara lain :
- Rapid test
Rapid test merupakan test antibody menggunakan spesimen darah utuh (whole blood) yang diambil dari ujung maupun fungsi vena, cairan mulut dan plasma, Rapid test dapat memberikan hasil dalam 20 menit (Scorviani V. , 2012).
- Kultur sputum: menunjukkan hasil positif untuk mycobacterium tuberculosis memberi diagnosis definitif. Akan tetapi mycobacterium tuberculosis tumbuh lambat, memerlukan 4-8 minggu sebelum dapat dideteksi menggunakan teknik kultur tradisional. Sedangkan sistem kultur radiometrik otomatis (seperti bactec) memungkinkan deteksi mycobacterium tuberculosis dalam beberapa hari (LeMone, 2015).
- Foto rongent dada (chest x-ray): dapat memperlihatkan infiltrasi kecil pada lesi awal dibagian paru-paru bagian atas, deposit kalsium pada lesi primer yang membaik atau cairan pada efusi. Perubahan mengindikasikan TB yang lebih berat, dapat mencangkup area berlubang dan fibrosa (Somantri, 2012).
- Darah: pada saat tuberkulosis baru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit (sel darah putih) yang sedikit menurun karena pertahanan primer yang tidak adekuat akibat infeksi HIV dengan nilai normalnya sekitar 5.000-10.000/mm3 (Wahid & Suprapto, 2013).
Oksigenasi merupakan salah satu komponen yang berupa gas dan unsur vital dalam proses metabolisme tubuh untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel-sel tubuh (Haswita & Sulistyowati, 2017).
Proses oksigenasi pada kondisi normal terdiri dari 3 tahapan berupa ventilasi, difusi dan transportasi gas (Haswita & Sulistyowati, 2017). Namun, pada pasien HIV ko-infeksi tuberculosis kondisi ini akan mengalami perubahan akibat pertahanan primer yang tidak adekuat sehingga menyebabkan terjadinya pembentukan tuberkel yang mengakibatkan kerusakan alveolar dan terjadi pembentukan sputum berlebih di jalan napas yang mengakibatkan bersihan jalan menjadi tidak efektif (Nurarif & Kusuma, 2016).
Penatalaksanaan bersihan jalan napas tidak efektif sesuai indikasi yang dapat dilakukan pada pasien HIV ko-infeksi tuberculosis yaitu :
- Posisi
Biasanya ventilasi
adekuat terpelihara oleh seringnya perubahan posisi. Untuk memelihara respirasi
yang adekuat dapat dilakukan dengan cara memberikan posisi agar pengembangan
dada maksimal seperti posisi fowlers atau semi fowlers
- Batuk efektif dan napas dalam
Tujuan napas dalam dan batuk efektif adalah untuk meningkatkan ekspansi paru, mobilisasi sekret, dan mencegah efek samping dari retensi sekret. Batuk yang efektif sangat penting karena dapat meningkatkan mekanisme pembersihan jalan napas (Normal Cleansing Mechanism). Batuk yang tidak efektif akan menyebabkan efek yang merugikan pada klien dengan penyakit paru (Somantri, 2012).
- Inhalasi
Terapi inhalasi yang biasanya dipakai yaitu nebulizer. Kegunaan nebulizer adalah untuk memberi obat-obatan atau pelembab pada klien. Nebulisasi menghasilkan kabut dan halimun, gunanya untuk meningkatkan pembersihan sekresi pulmonal (Somantri, 2012)
Penyakit HIV ko-infeksi
tuberculosis dapat menyerang semua umur, mulai anak-anak sampai orang dewasa
dengan komposisi laki-laki dan perempuan yang hampir sama, dari aspek
sosioekonomi penyakit tuberkulosis paru sering diderita oleh klien dari
golongan ekonomi menengah ke bawah (Somantri, 2012).
- 2. Status Kesehatan Saat Ini
- Keluhan utama MRS
Biasanya klien mengeluh batuk, batuk darah, sesak napas (Muttaqin, 2012).
- Keluhan utama pengkajian
Gejala umum TB paru adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum, sesak napas, malaise, anoreksia, gejala flu, demam ringan, nyeri dada, batuk darah (Padilla, 2013).
- Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang sering menyebabkan klien TB paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu keluhan respiratoris yang meliputi: batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Dan keluhan sistematis meliputi: demam, keluhan lain (keluhan yang biasa timbul ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan dan malaise) (Muttaqin, 2012).
- 3. Riwayat Kesehatan Terdahulu
- Riwayat penyakit sebelumnya :
Klien sebelumnya pernah menderita HIV sehingga daya tahan tubuhnya menurun dan memudahkan terjadinya infeksi opportunistik seperti tuberkulosis (Somantri, 2012).
- Riwayat penyakit keluarga
Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu mengkaji apakah pasien sebelumnya menderita penyakit infeksi seperti HIV. Selain itu perawat juga perlu menanyakan apakah ada anggota keluarga yang juga mengalami penyakit ini sebagai faktor predisposisi penularan di dalam rumah (Muttaqin, 2012).
- Alergi (obat, makanan, plester, dll)
Adanya alergi obat harus ditanyakan serta reaksi alergi yang timbul, karena sering kali klien mengacaukan suatu alergi obat dengan efek samping obat (Muttaqin, 2012).
- Obat-obatan yang digunakan
Mengenai obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang relevan seperti obat-obat anti retro viral (ARV) dan antitusif. Adanya efek samping yang terjadi di masa lalu (Muttaqin, 2012).
- Riwayat lingkungan
HIV ko-infeksi tuberculosis timbul di lingkungan rumah dengan kepadatan tinggi yang tidak memungkinkan cahaya matahari masuk ke dalam rumah (Somantri, 2012).
- 4. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum
- Kesadaran
Kesadaran pasien HIV ko-infeksi tuberculosis biasanya adalah composmentis (Manurung & Suratun, 2013).
- Keadaan umum
Keadaan umum pada klien HIV ko-infeksi tuberculosis dapat dilakukan secara selintas pandang dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh seperti mata, kulit, postur tubuh dan lain sebagainya (Muttaqin, 2012).
- Tanda vital
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan Tuberkulosis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi nafas meningkat apabila disertasi sesak nafas, denyut nadi biasanya normal, dan tekanan darah biasanya normal (Muttaqin, 2012).
- Tinggi badan dan berat badan
Klien HIV ko-infeksi tuberculosis biasanya mengalami penurunan berat badan dalam enam bulan terakhir. Penurunan berat badan berhubungan erat dengan proses penyembuhan serta adanya anoreksia dan mual yang sering terjadi disebabkan karena meminum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Manurung & Suratun, 2013).
- Body System
- Sistem Persyarafan
Tidak ada kelainan pada sistem persyarafan kecuali adanya komplikasi penyakit yang menyertai (Manurung & Suratun, 2013).
- Sistem Penglihatan
- Inspeksi
Pada pemeriksaan mata biasanya didapatkan adanya konjungtiva anemis dan sklera ikterik (Muttaqin, 2012).
- Palpasi
Tidak terdapat kelainan pada palpasi sistem penglihatan kecuali jika adanya komplikasi penyakit yang menyertai (Manurung & Suratun, 2013).
- Sistem Pendengaran
Tidak terdapat kelainan pada sistem pendengaran kecuali jika adanya komplikasi penyakit telinga yang menyertai (Manurung & Suratun, 2013).
- Sistem Pernapasan
- Inspeksi
Klien dengan HIV ko-infeksi tuberculosis biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior dibanding proporsi diameter lateral, sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan menggunakan otot bantu napas. Klien biasanya juga mengalami batuk produktif disertai adanya peningkatan produksi sekret dan sekresi sputum yang purulen (Muttaqin, 2012).
- Palpasi
Klien dengan HIV ko-infeksi tuberculosis
terjadi penurunan gerakan dinding pernapasan. Bila terjadi komplikasi efusi
pleura akan terjadi penurunan getaran suara (fremitus vokal) karena transmisi getaran suara harus melewati
cairan yang berakumulasi di rongga pleura (Muttaqin, 2012).
- Perkusi
Pada klien dengan TB paru tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh bagian lapang paru. Sedangkan pada klien yang terdapat komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan redup sampai pekak pada sisi yang sakit sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura (Muttaqin, 2012).
- Auskultasi
Pada klien dengan HIV ko-infeksi tuberculosis didapatkan adanya suara napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit (Muttaqin, 2012).
- Sistem Kardiovaskular
- Inspeksi
Perlu diperhatikan adanya keletihan karena kurangnya suplai oksigen (O2) dari paru-paru yang mengalami gangguan (Muttaqin, 2012).
- Palpasi
Pada pasien HIV ko-infeksi tuberculosis saat dilakukan palpasi nadi akan teraba denyut nadi normal (Muttaqin, 2012).
- Perkusi
Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura masif mendorong ke sisi sehat (Muttaqin, 2012).
- Auskultasi
Tidak didapatkan bunyi jantung tambahan (Muttaqin, 2012).
- Sistem Pencernaan – Eliminasi Alvi
- Mulut dan tenggorok
Meningkatnya seputum pada saluran napas secara tidak langsung akan memengaruhi sistem persarafan khususnya saluran cerna. Klien mungkin akan mengeluh tidak nafsu makan, disertai dengan batuk, pada akhirnya klien akan mengalami penurunan berat badan yang signifikan (Somantri, 2012).
- Abdomen
Inspeksi
Tidak terjadi kelainan kecuali ada komplikasi (Somantri, 2012).
Auskultasi
Adanya penurunan bising usus (Somantri, 2012).
Palpasi
Tidak ada kelainan pada hepar, gaster, colon, limfa kecuali adanya komplikasi yang menyertai (Manurung & Suratun, 2013).
Perkusi
Pada pemeriksaan perkusi abdomen ditemukan suara perut tympani maupun hipertympani (Muttaqin, 2012).
- Sistem Perkemihan – Eliminasi Urin
- Inspeksi
Terjadi oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama Rifampisin (Muttaqin, 2012).
- Palpasi
Tidak ada kelainan pada bladder kecuali adanya komplikasi yang menyertai (Manurung & Suratun, 2013).
- Sistem Muskuloskeletal
- Inspeksi
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien HIV ko-infeksi tuberculosis. Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, dan jadwal olahraga menjadi tidak teratur (Muttaqin, 2012).
- Palpasi
Tidak ada kelainan pada saat di palpasi kecuali adanya komplikasi yang menyertai (Manurung & Suratun, 2013).
- Sistem Integumen
- Inspeksi
turgor kulit buruk, kering, bersisik, hilang lemak subkutis (Manurung & Suratun, 2013).
- Palpasi
Suhu badan klien biasanya meningkat
>37,5 oC (Manurung & Suratun, 2013).
- Sistem Endokrin
Tidak terjadi kelainan pada sistem endokrin kecuali ada penyakit yang menyertai (Somantri, 2012).
- Sistem Reproduksi
Tidak terjadi kelainan pada sistem reproduksi kecuali ada penyakit yang menyertai (Muttaqin, 2012).
- 5. Hasil Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium
Pada pemeriksaan darah lengkap akan didapatkan jumlah leukosit (sel darah putih) yang sedikit menurun karena pertahanan primer yang tidak adekuat akibat infeksi HIV dengan nilai normalnya sekitar 5.000-10.000/mm3 (Wahid & Suprapto, 2013).
- Radiologi
Pada pemeriksaan foto rongent dada (chest x-ray) akan didapatkan lesi tebal pada segmen apikal dan posterior lobus atas dan kemungkinan pembentukan kavitas (LeMone, 2015).
- 6. Terapi Pengobatan
- Terapi obat-obatan
Prinsip pengobatan HIV Ko-Infeksi Tuberkulosis adalah dengan mendahulukan pengobatan Tuberkulosis (Wijaya, 2017).
- Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan) (Wijaya, 2017).
Berdasarkan Somantri (2012), obat-obat anti tuberkulosis terdiri dari:
- Isoniazid (INH/H)
- Dosis: 5mg/KgBB, per oral
- Efek samping: peripheal, neuritis, hepatitis, dan hipersensitif
- Ethambutol Hydrocloride (EMB/E)
Dengan dosis sebagai berikut:
- Dewasa: 15mg/KgBB per oral, untuk pengobatan ulang mulai dengan 25mg/KgBB/hari selama 60 hari, kemudian diturunkan sampai 15mh/KgBB/hari.
- Anak (6-12 tahun): 10-15mg/KgBB/Hari
Efek samping: optik neuritis (efek terburuk adalah kebutaan) dan skin rash
- Rifampin/rifampisin (RFP/R)
- Dosis: 10mg/KgBB/hari per oral
- Efek samping: hepatitis, reaksi demam, purpura, nausea, dan vomiting.
- Pyrazinamide (PZA/Z)
- Dosis: 15-30mg/KgBB/hari
- Efek samping: hiperurisme, hepatotoxity, skin rash, artralgia, dister gastrointestinal.
- Rekomendasi terapi ARV menurut Somantri (2012), pada kasus HIV Ko-Infeksi TB Paru yaitu :
- Mulai terapi ARV pada semua individu HIV dengan TB Paru aktif, berapapun jumlah CD4.
- Gunakan AZT (Zidovudin) + 3TC (Lamivudine) + EFV (Efavirenz) sebagai pilihan pada pasien yang memulai terapi ARV selama dalam terapi TB Paru.
- Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB Paru dapat ditoleransi. Secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu.
- Terapi Oksigenasi
Pemberian oksigen dapat dilakukan dengan beberapa cara:
- Pemberian Nasal Kanul
Nasal kanul bisa dengan pemberian 2-6 liter/menit, oksigen yang masuk sampai konsentrasi lebih rendah (24%-45%). Pemberian diatas 6 liter/menit klien cenderung menelan udara dan bisa terjadi iritasi hidung dan pharing.
- Intranasal Kateter
Untuk pemberian Intranasal Kateter O2 yang masuk lebih dapat dipercaya (30%-35%) dengan pemberian 1-5 liter/menit.
- Masker
Masker muka menutupi mulut dan hidung sehingga memungkinkan oksigen dihisap. Dengan masker muka oksigen yang masuk konsentrasinya diatas 40-60% dengan pemberian 5-8 liter.
Rumus untuk Pemberian Oksigen menurut (Atoilah, 2013) :
MV = BB x VT x RR
Keterangan :
MV: Minute Ventilation, udara yang masuk kesistem pernafasan setiap menit
BB : Berat Badan
VT : Volume Tidal, 6-8 ml/kgBB
RR : Respiration Rate
Misalnya : Diketahui BB 50kg, RR 30x/mnt = (50kg x (6-8)) x 30 = 9000 – 12000 ml/mnt = 9 – 12 l/mnt
Maka oksigen dapat diberikan pada pasien
sebanyak 9 – 12 l/mnt.
Menurut (PPNI, 2017) diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien HIV ko-infeksi tuberculosis yaitu:
- Bersihan jalan napas tidak efektif
- Definisi
Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten.
- Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
- Batuk tidak efektif
- Tidak mampu batuk
- Sputum berlebih
- Mengi, wheezing, dan/atau ronkhi kering
- Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
- Dispnea
- Sulit bicara
- Ortopnea
Objektif
- Gelisah
- Sianosis
- Bunyi napas menurun
- Frekuensi napas berubah
- Pola napas berubah
- Kondisi Klinis Terkait
- Infeksi saluran napas
- Pola Nafas Tidak Efektif
- Definisi
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat.
- Tanda Gejala Mayor
Subjektif
- Dispnea
Objektif
- Penggunaan otot bantu pernapasan
- Fase ekspirasi memanjang
- Pola napas abnormal
- Tanda Gejala Minor
Subjektif
- Ortopnea
Objektif
- Pernapasan pursed-lip
- Pernapasan cuping hidung
- Ventilasi semenit menurun
- Kapasitas vital menurun
- Ekskursi dada berubah
- Kondisi Klinis Terkait
- Depresi sistem saraf pusat
- Defisit Nutrisi
- Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.
- Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
Berat badan menurun minimal 10% di bawah rentang ideal
- Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
- Cepat kenyang setelah makan
- Kram/nyeri abdomen
- Nafsu makan menurun
Objektif
- Bising usus hiperaktif
- Otot pengunyah lemah
- Otot menelan lemah
- Membran mukosa pucat
- Sariawan
- Serum albumin turun
- Rambut rontok berlebihan
- Diare
- Kondisi Klinis Terkait
- Infeksi
- AIDS
- Hipertermi
- Definisi
Suhu tubuh meningkat diatas retang normal tubuh.
- Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
Suhu tubuh diatas nilai normal
- Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
- Kulit merah
- Kejang
- Takikardia
- Takipnea
- Kulit terasa hangat
- Kondisi Klinis Terkait
Proses infeksi
- Gangguan Pola Tidur
- Definisi : Gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur akibat faktor eksternal
- Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
- mengeluh sulit tidur
- mengeluh sering terjaga
- mengeluh tidak puas tidur
- mengeluh pola tidur berubah
- mengeluh istirahat tidak cukup
Objektif
(tidak tersedia).
- Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
mengeluh kemampuan beraktifitas menurun
Objektif
(tidak tersedia).
- Kondisi Klinis Terkait :
Penyakit
paru obstruksi kronis
- 2.3.3 Intervensi Keperawatan
- Ketidakefektifan bersihan jalan nafas (Wilkinson, 2016).
- Tujuan : menunjukan bersihan jalan napas yang efektif dan kepatenan jalan napas.
- Kriteria hasil:
- Jalan nafas bersih dan tidak ada suara nafas tambahan
- Pasien dapat mengeluarkan dahak dengan mudah
- Batuk produktif berkurang
- Pasien memiliki jalan nafas yang paten
- Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
Kaji dan dokumentasi hal- hal berikut ini :
- Observasi tanda-tanda vital; frekuensi nafas
- Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan.
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
- Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyebab ketidak efektifan bersihan jalan nafas
- Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang larangan merokok di dalam ruang perawatan; beri penyuluhan tentang pentingnya berhenti merokok
- Ajarkan pasien latihan nafas dalam dan batuk efektif untuk mempermudah proses pengeluaran sekret
Aktivitas Kolaboratif
- Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian terapi nebulizer untuk mempermudah pengeluaran sekret
Aktivitas lain
- Atur posisi pasien yang memungkinkan untuk pengembangan maksimal rongga dada misalnya bagian kepala tempat tidur di tinggikan 450 (posisi semi fowler)
- Pertahankan keadekuatan hidrasi untuk mengencerkan sekret; anjurkan pasien minum air hangat
- Ketidakefektifan pola nafas (Wilkinson, 2016).
- Tujuan : menunjukan pola pernapasan efektif, yang dibuktikan oleh status pernapasan yang tak terganggu: ventilasi dan status pernapasan: kepatenan jalan napas; dan tidak ada penyimpangan tanda-tanda vital dari rentang normal
- Kriteria hasil: klien mempunyai kecepatan dan irama pernapasan dalam batas normal
- Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
- Panjau adanya pucat dan sianosis
- Pemantauan Pernapasan (NIC)
Pantauan kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan.
Perhatikan gerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot-otot aksesoris, serta retraksi otot supraklavikular dan interkosta
Pantau pola napas: bradipnea, takipnea, hiperventilasi, pernapasan Kussmaul, pernapasan Cheyne-Stokes.
Auskultasi suara napas, perhatikan area penurunan/tidak adanya ventilasi dan adanya suara napas tambahan.
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
- Diskusikan cara menghindari alergen, sebagai contoh: Tidak menggunakan karpet dilantai.
- Ajarkan teknik batuk efektif.
- Instruksikan kepada pasien dan keluarga bahwa mereka harus memberi tahu perawat pada saat terjadi ketidakefektifan pola pernapasan.
Aktivitas Kolaboratif
- Berikan obat (mis., bronkodilator) sesuai dengan program atau protokol
- Berikan terapi nebulizer ultrasonik dan udara atau oksigen yang dilembapkan sesuai program atau protokol institusi
Aktivitas Lain
- Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode gawat napas
- Minta pasien untuk mengubah posisi, nafas dalam dan batuk efektif
- Pertahankan oksigen aliran rendah dengan kanul nasal, masker atau sungkup.
- Atur posisi pasien untuk mengoptimalkan pernapasan, seperti posisi semi fowler
- Defisit Nutrisi (Wilkinson, 2016).
- Tujuan: memperlihatkan status nutrisi yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat sedang, ringan, atau tidak ada penyimpangan dari rentang normal): asupan gizi, asupan makanan, asupan cairan, energi.
- Kriteria Hasil: Pasien akan melaporkan adanya peningkatan nafsu makan dan pasien mampu menghabiskan setidaknya 1 porsi makan yang disediakan.
- Intervensi NIC
Aktivitas keperawatan
- Kaji penurunan nafsu makan dan pemenuhan kebutuhan nutrisi pasien
Penyuluhan untuk pasien dan keluarga
- Jelaskan pentingnya makanan bagi proses penyembuhan
- Anjurkan klien untuk oral hygiene sebelum dan sesudah makan untuk meningkatkan selera makan
Aktivitas kolaboratif
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk membantu memilih makanan yang tepat bagi pasien.
- Diskusikan dengan ahli gizi tentang pemberian makanan selagi hangat untuk meningkatkan nafsu makan pasien.
- Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat antiemetik untuk mengatasi mual dan muntah.
Aktivitas lain
- Suapi pasien jika perlu; Berikan makanan dalam jumlah kecil dan bertahap
- Hipertermi
(Wilkinson, 2016).
- Tujuan:Pasien akan menunjukkan termoregulasi, yang dibuktikan oleh indicator gangguan sebagai berikut (sebutkan 1-5: gangguan ektrem, berat, sedang, ringan, atau tidak ada gangguan): peningkatan suhu kulit, hipertermia, dehidrasi, mengantuk.
- Kriteria hasil: Suhu tubuh pasien dalam rentang normal dan keluarga mampu menjelaskan tindakan untuk mencegah atau meminimalkan peningkatan suhu tubuh.
- Intervensi NIC
Aktivitas keperawatan
- Pantau hidrasi (misalnya, turgor kulit, kelembapan membran mukosa)
- Pantau tekanan darah, denyut nadi, dan frekuensi pernafasan dan suhu tubuh pasien
Penyuluhan untuk pasien /keluarga
- Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu tubuh untuk mencegah dan mengenali secara dini hipertermia (misalnya, sangat panas, keletihan akibat panas).Ajarkan pasien/keluarga tentang kompres hangat untuk mengatasi peningkatan suhu tubuh
Aktivitas kolaboratif
- Kolaborasikan dengan dokter tentang pemberian obat antipiretik jika perlu
- Gangguan Pola Tidur (Wilkinson, 2016).
- Tujuan :Menunjukan pola dan kualitas tidur yang cukup baik, jumlah waktu tidur yang terobservasi, dan terjaga pada waktu yang tepat.
- Kriteria Hasil : Pasien melaporkan tidur yang cukup dimalam hari dan pasien tidak mengalami kesulitan tidur.
- Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
- Kaji pola tidur pasien.
- Kaji penyebab gangguan pola tidur
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
- Intruksikan pasien untuk menghindari mengonsumsi minuman yang dapat menyebabkan gangguan pola tidur (mis.kafein).
Aktivitas Lain
- Berikan suasana lingkungan yang tenang untuk mendukung pasien beristirahat.
Aktivitas Kolaboratif
- Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat penurun cemas
- Diskusikan dengan bimbingan rohani sehingga pasien dapat merasa lebih tenang dan mencegah distress spiritual
Tahap keempat dari proses keperawatan yaitu melaksanakan intervensi yang telah ditentukan. Pelaksanaan implementasi keperawatan harus sesuai dengan rencana yang telah ditetentukan sebelumnya dan pelaksanaannya disesuaikan dengan masalah yang terjadi. Dalam pelaksanaan implementasi keperawatan ada 4 macam tindakan yang dilakukan yaitu tindakan mandiri, tindakan observasi, tindakan health education, dan tindakan kolaborasi (Hidayat, 2009).
Merupakan
proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada
klien dan dilakukan terus-menerus pada respon klien. Klien dan keluarga selalu
dilibatkan dalam proses evaluasi agar dapat melihat perubahan dan berupaya
mempertahankannya. Tujuan dari evaluasi yaitu untuk mengetahui sejauh mana
tujuan keperawatan dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan
keperawatan yang telah diberikan (Tarwoto &
Watonah, 2010).
BAB III
METODE PENELITIAN
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian studi kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif terinci dan mendalam terhadap suatu kasus perorangan, kelompok, program, organisasi, budaya, agama, daerah atau bahkan negara (Fitrah, 2017). Hasil penelitian ini berbentuk pemahaman yang kaya, mendalam dan rinci tentang kasus tertentu dengan penjelasan deskriptif yang lengkap baik tentang orang aupun lingkungan sekitar kasus tersebut (Semiawan, 2015). Keuntungan menggunakan penelitian ini adalah pengkajian secara rinci meskipun jumlah responden sedikit, sehingga akan didapatkan sebuah objek secara jelas melalui berbagai sumber data yang telah dikumpulkan (Gunawan, 2015).
Studi kasus ini akan digunakan sebagai metode untuk penelitian masalah asuhan keperawatan klien yang mengalami HIV ko-infeksi tuberculosis dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember
Penelitian kasus ini mengambil judul Asuhan Keperawatan klien yang mengalami HIV ko-infeksi tuberculosis dengan bersihan jalan nafas tidak efektif di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember.
HIV ko-infeksi tuberculosis adalah infeksi opportunistik berupa infeksi paru yang disebabkan mycobacterium tuberculosis akibat menurunnya sistem imun yang disebabkan oleh infeksi HIV (LeMone, 2015). Infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis di paru dapat menyebabkan ketidakefektifan bersihan jalan nafas, yaitu ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran pernafasan untuk mempertahankan kebersihan jalan nafas (Nurarif & Kusuma, 2016).
Partisipan adalah orang atau pelaku yang benar-benar tahu dan menguasai masalah, serta terlibat langsung dengan masalah penelitian. Partisipan memberikan informasi dari apa saja yang dipahaminya dan diketahuinya berdasarkan pengalamannya karena informasi tersebutlah yang akan menjadi data utama pada penelitian ini sehingga partisipan harus benar-benar aktif memberikan informasi kepada peneliti. Peneliti harus benar-benar mengenal dan memiliki hubungan yang baik dengan partisipan. Hanya dengan hubungan yang dekat dan saling mengenal secara mendalam, peneliti dapat memperoleh data yang mendalam (Raco, 2011).
Partisipan dalam penelitian ini yaitu :
- Klien
Dari klien yang mengalami HIV ko-infeksi tuberculosis akan diperoleh data subjektif dan objektif. Data subjektif meliputi keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit sebelumnya, obat-obatan yang digunakan, kebiasaan, alergi obat. Sedangkan untuk data objektif yaitu pemeriksaan fisik (Raco, 2011).
- Keluarga
Keluarga klien HIV ko-infeksi tuberculosis yang akan diambil sebagai responden yaitu keluarga yang selalu mendampingi pasien saat dirawat di rumah sakit yang kemudian akan diperoleh data subjektif. Data subjektif yang diperoleh meliputi riwayat penyakit keluarga, genogram, riwayat lingkungan dan kebiasaan (Raco, 2011).
- Petugas Kesehatan
- Dokter
Dari dokter dapat diperoleh data yaitu terapi pada klien, kronologi atau patofisiologi penyakit pada klien, dan perkembangan kondisi klien selama dirumah sakit (Semiawan, 2015).
- Perawat
Dari perawat dapat diperoleh data tentang keadaan dan kondisi klien selama dirumah sakit atau kondisi saat pertama datang di rumah sakit (Raco, 2011).
- Ahli Gizi
Dari ahli gizi dapat diperoleh data tentang diet yang harus diberikan pada klien TB Paru dan makanan yang tidak boleh dimakan oleh klien (Semiawan, 2015).
- Radiologi dan Laboratorium
Dapat diperoleh data tentang hasil foto thorax dan hasil laboratorium pada klien dengan HIV ko-infeksi tuberculosis (Raco, 2011).
Penelitian Asuhan keperawatan klien yang mengalami HIV ko-infeksi tuberculosis dengan bersihan jalan nafas tidak efektif akan dilakukan di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember. Studi kasus ini akan dilakukan selama 3 hari perawatan pada periode Juli sampai dengan Agustus 2019. Klien yang mengalami HIV ko-infeksi tuberculosis biasanya akan dirawat di rumah sakit >3 hari perawatan.
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian. Terdapat 3 macam teknik pengumpulan data yaitu :
- Observasi
Dalam penelitian ini observasi yang digunakan yaitu observasi partisipasi. Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang sedang diamati yang digunakan sebagai sumber data penelitian (Sugiyono, 2015). Penelitian ini akan melakukan pengumpulan data dengan observasi pada klien meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Inspeksi merupakan pemeriksaan secara visual terhadap permukaan tubuh eksternal, pergerakan dan postur. Palpasi merupakan proses pemeriksaan dengan menggunakan tangan atau jari tangan pada permukaan eksternal tubuh untuk mendeteksi adanya bukti abnormalitas pada berbagai organ. Perkusi merupakan pemeriksaan menggunakan jari tangan untuk mengetuk tubuh dengan ringan untuk menentukan posisi, ukuran, dan konsistensi struktur yang mendasari dan adanya cairan atau pus pada sebuah rongga. Sedangkan auskultasi merupakan proses mendengarkan suara dalam tubuh, biasanya bunyi thoraks atau visera abdominal untuk mendeteksi adanya abnormalitas dengan menggunakan stetoskop.
- Wawancara
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur. Tujuan dari wawancara adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak untuk wawancara diminta pendapat serta ide-idenya (Sugiyono, 2015). Pada penelitian ini yang akan diwawancara yaitu pasien, keluarga serta petugas kesehatan seperti dokter, perawat, ahli gizi, radiologi dan laboratorium yang bertugas di RSD dr. Soebandi Jember. Wawancara yang dilakukan pada pasien dan keluarganya akan menghasilkan data subjektif meliputi keluhan utama, riwayat penyakit keluarga, genogram, riwayat lingkungan dan kebiasaan. Sedangkan wawancara yang dilakukan pada petugas kesehatan seperti dokter, perawat, ahli gizi, radiologi dan laboratorium yang bertugas di RSD dr. Soebandi Jember akan di peroleh data tentang perkembangan pasien mulai saat awal masuk rumah sakit sampai perkembangan keadaaan pasien saat ini.
- Studi Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen sendiri bisa berbentuk tulisan maupun gambar atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2015). Pada penelitian ini dokumentasi yang akan digunakan yaitu hasil laboratorium, catatan perkembangan perawatan terintegrasi.
- 3.6.Uji Keabsahan Data
- Memperpanjang Waktu Pengamatan
Perpanjangan waktu pengamatan dilakukan untuk menguji kredibilitas data penelitian yang telah diperoleh. Perpanjangan waktu pengamatan berarti peneliti kembali ke lapangan untuk melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan klien, keluarga dan petugas kesehatan seperti dokter, perawat, ahli gizi, radiologi dan laboratorium. Data yang diperoleh dilapangan setelah dicek kembali sudah dapat dipertanggungjawabkan (Sugiyono, 2015). Pada penelitian ini diharapkan dengan perpanjangan waktu pengamatan berarti hubungan dengan narasumber akan semakin erat, semakin akrab, dan semakin terbuka sehingga informasi yang diperoleh semakin banyak, lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan.
- Triangulasi
Triangulasi dalam pengujian kredebilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat 3 triangulasi yaitu :
- Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber adalah untuk menguji kredibilitas dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber (Semiawan, 2015). Pada penelitian ini peneliti akan menganalisis data yang diperoleh sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang sesuai dengan data yang diperoleh dari tiga sumber data yaitu klien, keluarga dan petugas kesehatan.
- Triangulasi Tekhnik
Triangulasi Tekhnik adalah untuk menguji kredibilitas dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan tekhnik yang berbeda (Semiawan, 2015). Misalnya pada penilitian ini pengujian kredibilitas data tersebut menghasilkan data yang berbeda, maka peneliti akan melakukan wawancara, observasi dan dokumentasi lanjutan kepada sumber data yang bersangkutan untuk memastikan data mana yang dianggap benar.
- Triangulasi Waktu
Triangulasi Waktu sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan dengan tekhnik wawancara di pagi hari pada saat narasumber masih segar, belum banyak masalah, akan memberikan data yang lebih valid (Semiawan, 2015). Pada penilitian ini bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka wawancara akan dilakukan secara berulang-ulang sampai ditemukan kepastian datanya.
Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan sehingga dapat dipahami dan diinformasikan kepada orang lain, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis (Sugiyono, 2015).
- Mereduksi Data
Mereduksi data merupakan proses berfikir sensitif yang memerlukan kecerdasan, keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting (Sugiyono, 2015). Pada penilitian ini data yang diperoleh cukup banyak sehingga akan dicatat secara teliti dan rinci yang kemudian akan difokuskan pada hal-hal yang pokok dan penting saja.
- Penyajian Data
Penyajian data merupakan cara bagaimana untuk menyajikan data sebaik-baiknya agar mudah dipahami oleh pembaca (Sugiyono, 2015). Pada penilitian ini akan disajikan data dalam bentuk uraian singkat dan tabel agar lebih mudah dipahami.
- Kesimpulan
Kesimpulan merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih tidak pasti kejelasannya kemudian diteliti agar lebih jelas (Sugiyono, 2015). Pada penelitian ini kesimpulan diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang sebuah temuan baru di lapangan yang didukung oleh bukti bukti valid yang didapatkan saat peneliti berada di lapangan.
Etika penelitian dalam keperawatan adalah masalah yang paling penting dalam penelitian yang meliputi :
- Informed Consent
Informed consent adalah bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden, peneliti dengan memberikan lembar persetujuan. Tujuannya agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian (Sugiyono, 2015). Pada penelitian ini peneliti akan memberikan informed consent sebagai bukti persetujuan bahwa responden bersedia menjadi subjek yang akan diteliti.
- Anonimity (tanpa nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan (Gunawan, 2015). Pada penelitian ini peneliti tidak akan mencantumkan nama responden dan hanya menyebutkan inisialnya responden saja pada hasil penelitian yang akan disajikan.
- Confidentiality (kerahasiaan)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya sekelompok data yang akan dilaporkan pada hasil penelitian (Sugiyono, 2015). Pada penelitian ini tidak semua data hasil penelitian yang akan dicantumkan, hanya beberapa data saja yang akan disajikan dalam laporan hasil penelitian ini.